Mereka adalah Pitta (56) dan putranya Pahrul Ramadhan Syahputra (30) yang berangkat ke tanah suci dengan membawa kisah pilu namun penuh sarat makna tentang cinta, kehilangan, dan bakti.
Beberapa bulan lalu, pasangan Bu Pitta dan almarhum suaminya, Bapak Hapijuddin, telah melakukan persiapan matang untuk menjalankan rukun Islam kelima tersebut. Segala persiapan sudah rampung, mulai pembuatan paspor, perekaman biometrik / Saudi Visa Bio (SVB) hingga doa-doa yang telah mereka panjatkan bersama selama bertahun-tahun.
Namun takdir berkata lain, sebelum keberangkatan, suami tercinta Pak Apit (sapaan akrabnya) meninggal dunia akibat penyakit diabetes.
“Bapak sudah siap betul. Beliau sangat semangat, setiap hari bicara soal Mekah, soal wukuf di Arafah. Tapi ternyata Allah lebih dulu memanggil,” tutur Bu Pitta dengan haru bahagia bercampur kesedihan, terlihat matanya basah mengingat kenangan itu.
Duka itu begitu dalam bagi Bu Pitta, tidak hanya karena kehilangan pasangan hidup, tapi juga karena impian mereka untuk menunaikan haji bersama pupus begitu saja. Namun, di tengah keperihan itu, sang anak sulung, Pahrul, mengambil keputusan besar dengan bertekad mendampingi ibunda tercinta menunaikan ibadah haji bersama menggantikan sang ayah.
“Saya tahu ini berat, tapi saya merasa ini cara saya meneruskan niat mulia Bapak. Dan saya ingin Ibu tidak sendiri. Ini bukan cuma perjalanan haji, ini perjalanan hati,” ujar Pahrul lirih.
Menurut Pahrul, keputusan itu tidak diambil dengan mudah. Ia harus mengurus segala proses administrasi pergantian porsi haji, mengurus cuti kerja, dan yang paling penting lagi mempersiapkan diri secara mental dan spiritual.
“Awalnya saya ragu, karena saya merasa belum pantas. Tapi setiap kali melihat wajah Ibu, saya tahu ini yang harus saya lakukan,” ungkapnya.
Saat manasik dan detik mendekati keberangkatan haji, suasana haru menyelimuti keluarga mereka, beberapa kerabat yang datang kerumah tidak kuasa menahan air mata saat Pahrul dan Bu Pitta berpamitan dan terlihat ditangan Bu Pitta, sebuah kenangan tergenggam dengan erat.
“Bapak tetap berangkat, lewat Pahrul,” ucapnya, pelan namun pasti.
Perjalanan ini bukan sekadar ibadah bagi Pahrul dan Bu Pitta, ini adalah bentuk cinta yang tidak lekang oleh waktu, pengabdian anak pada orang tua, dan keyakinan bahwa meskipun tubuh sang ayah tiada, ruh dan niat sucinya tetap mengiringi mereka hingga ke Tanah Suci.
“Haji tahun ini bukan hanya soal menyempurnakan rukun Islam, tapi juga menyempurnakan niat bapak,” tutup Pahrul dengan mata berkaca. (Sumber : Humas PPIH) (Soni)
