Kegiatan ziarah tersebut dilakukan saat mengisi sisa waktu pasca menunaikan ibadah haji 1446 H/ 2025 M dan diakhiri dengan pelaksanaan umroh Sunnah mengambil miqot yang dekat dengan destinasi ziarah.
Pelaksanaan kegiatan ziarah tersebut dipandu oleh pembimbing ibadah dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh (KBIHU) Adliyah Medan, Al Ustadz H. Ikhwansyah Nst.
Ketua Kloter 9 KNO M.Lukman Hakim Hasibuan kepada Humas PPIH Debarkasi Medan mengatakan, Pembimbing ibadah dari KBIHU senantiasa berkoordinasi dan bersinergi dalam menyampaikan kegiatan ziarahnya kepada kepada petugas kloter.
“Hari ini jamaah dari KBIHU Adliyah dan Pemko Medan bersepakat untuk melakukan ziarah di dua lokasi dengan menggunakan 3 bus wisata menuju Museum Abu Bakar Al Maoudi dan tempat perjanjian Hudaibiyah, dimana jemaah haji sekaligus mengambil Miqot di sana ", ujar Lukman kepada Humas PPIH melalui via WhatsApp, Kamis (12/6/2025).
Lukman menjelaskan, Museum Abu Bakar Al Maoudi lokasinya di daerah El Shimeisi, pinggiran kota suci Mekkah. Untuk mencapainya, perlu sekitar 15 menit berkendara mobil dari Masjidil Haram.
Museum ini berisi berbagai properti peradaban dan perlengkapan hidup sehari- hari masyarakat Arab di zaman dulu. Mulai dari sumur, batu bangunan, perlengkapan memasak serta makan dan minum, toko, rumah, ranjang, sofa, perhiasan dan pakaian. Ada juga peralatan perang tentara Arab seperti baju dan pedang. Suasana Makkah tempo dulu hingga kini disajikan dalam rangkaian foto.
Selanjutnya rombongan jamaah haji kloter 9 KNO bergerak ke Hudaibiyah untuk mengambil miqat umrah sunnah.
Kepala KUA Medan Amplas ini menambahkan, Hudaibiyah sendiri adalah situs sejarah dalam Islam. Nama Hudaibiyah sebenarnya diambil dari nama telaga, yang juga dikenal dengan sebutan telaga Asy-Syumaisi.
Sejarah Islam menyebutkan, Hudaibiyah menjadi pintu masuk kecemerlangan kaum Muslimin dalam menaklukkan Kota Makkah (Fathul Makkah) dan Di kota ini, Rasulullah SAW dan kaum Quraisy Makkah membuat perjanjian yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Inti dari perjanjian tersebut adalah perdamaian untuk saling tidak menyerang. Walaupun perjanjian Hudaibiyah ini satu sisi merugikan umat Islam namun dengan penuh kesabaran ditaati oleh Rasul dan sahabat sehingga tercipta gencatan senjata damai.
Lambat Laun kemudian Islam berkembang pesat dan pada akhirnya Umat Islam mempunyai kebebasan penuh untuk mendakwahkan Islam. Masyarakat Makkah akhirnya menyadari kejayaan Islam yang indah dan ramah dengan sentuhan dakwah dan akhlaq sehingga membuat penduduk Mekkah bersimpati dan akhirnya banyak yang masuk Islam.
“Kisah tersebut berlangsung pada bulan Dzulqaidah tahun 6 Hijriah saat umat Islam Madinah yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshar berencana akan melakukan umrah di Baitullah. Keputusan melakukan umrah ini diawali dari mimpi Rasulullah SAW yang menggambarkan beliau serta sahabat-sahabatnya bisa masuk ke Masjidil Haram dan melakukan umrah dengan aman,” ujarnya.
Ziarah ini membawa kesan tersendiri bagi jamaah Kloter 9 KNO. Salah satunya Chairul (56) warga Medan Labuhan mengatakan, ziarah tersebut mengingatkan bagaimana perkembangan peradaban Islam bersentuhan dengan peradaban setempat.
Satu sisi juga, perjanjian Hudaibiyah mengajarkan, dalam meraih tujuan politik tidak mesti menggunakan dan menghalalkan segala macam cara.
" Politik itu adalah instrument mencapai sesuatu yang pertanggungjawabannya bukan hanya sebatas kepada manusia tapi juga kepada Tuhan", ujar Chairul.
Lain halnya dengan Yanti Suryani (48 ) warga Letda Sujono Medan Tembung, ia mengatakan, perjanjian Hudaibiyah sangat menginspirasi, kesabaran itu menghasilkan kebaikan dalam kehidupan, wajar jika Allah SWT dalam Al Qur'an memberikan pahala sabar dengan pahala yang tiada terputus. (Sumber : Humas PPIH)(Soni)